Minggu, 29 Januari 2012

Kebijakan Pemerintah dalam Penyediaan Buku


      Sumber daya manusia (SDM), mertpakan peran utama dalam menggerakkan roda pembangunan.

    Tak pelak lagi, maju tidaknya suatu negara sangat ditentukan oleh keberadaan dan kondisi sumber daya manusia (SDM) di negara itu. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya alam (SDM) bagi suatu negara merupakan suatu keniscayaan. Untuk mencapai tujuan ini diperlukan investasi.

     Tanggung jawab masalah investasi untuk meningkatkan sumber daya alam (SDM) tidak bisa hanya dibebankan pada salah satu sektor pembangunan saja, tetapi harus menjadi tanggung jawab multisektoral secara terintegrasi. Sektor-sektor penting yang secara langsung memiliki kontribusi terhadap pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) adalah pendidikan, peningkatan gizi dan kesehatan, program kependudukan (sesus penduduk), dan pembinaan dibidang olahraga.

   Dari beragam bentuk investasi tersebut, investasi di bidang pendidikan dapat dinyatakan sebagai permasalahan utama pengembangan sumber daya manusia (SDM). Dalam hal ini didasarkan atas asumsi semakin pesatnya sektor pendidikan akan semakin berkembang pula sektor di bidang kesehatan, ekonomi, dan pengendalian laju penduduk. Oleh karena itu, investasi untuk memajukan kualitas dan mutu sumber daya manusia (SDM) tidak mungkin bisa lepas dari investasi untuk sektor dibidang pendidikan. Salah satu investasi di sektor pendidikan yang dilaklaksanakan pemerintah saat ini adalah pengadaan sarana pendidikan berupa buku. Tulisan ini akan menyoroti kebijakan pemerintah dalam penyediaan buku, baik buku pelajaran maupun nonpelajaran.

Kebijakan Penyediaan Buku Pelajaran

      Buku pelajaran merupakan kebutuhan elementer untuk mendukung program wajib belajar 12 tahun. Tak pelak lagi, ketersediaan buku pelajaran yang berkualitas tinggi sangat amat dibutuhkan guna menunjang program yang diamanatkan oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut.

Berhubungan dengan hal tersebut, kurang lebih sudah dua tahun ini, pemerintah mencanangkan program buku sekolah elektronik (BSE) yang dapat diunduh/di download secara cuma-cuma dari website Depdiknas. Melalui mekanisme penilaian, pemerintah telah membeli hak cipta buku dari penulis dan penerbit untuk dijadikan BSE. Untuk tujuan ini, Depdiknas mengeluarkan dana sebesar ,a href="http://www.unibisnis.com/">20 miliar rupiah untuk pembelian hak cipta sebanyak 295 jilid buku.

   Selain dalam bentuk softcopy, pemerintah juga memberi kebebasan kepada perusahaan maupun perorangan untuk menggandakan dan memasarkan BSE dalam bentuk hardcopy (cetak). Untuk itu, pemerintah mengeluarkan Permendiknas Nomor 13 Tahun 2008 tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) yang kemudian diubah dalam Permendiknas Nomor 28 Tahun 2008. Permendiknas tersebut selain mengatur masalah harga juga mengatur spesifikasi BSE versi cetak.

      keluar dari beberapa kelemahannya, kebijakan BSE ini merupakan kebijakan yang cukup bagus. Menurut hemat penulis, kebijakan ini perlu dikembangkan lagi di masa depan. Pasti mekanismenya perlu dimodifikasi untuk meminimkan kelemahan yang telah ada. Dari pengamat`n seorang penulis, terdapat beragam kelemahan dari program BSE sebagai berikut.
Mekanisme Penilaian

Banyaknya buku yang telah lolos penilaian ternyata kualitasnya di bawah standar. Kurangnya kualitas buku BSE dapat ditemui mulai dari yang bersifat kegrafikaan hingga yang bersifat substansial. Kesalahan substansial bisa disimak pada salah satu buku Ekonomi SMA, dimana telah terjadi kesalahan yang sangat besar. Kenyataan ini pasti  amat sangat disayangkan karena dapat menggiring opini publik seolah-olah pemerintah hanya memenuhi target untuk mendapatkan buku dalam jumlah tertentu untuk dijadikan BSE.

Transparansi
Diakui atau tidak, mekanisme penilaian kurang maksimal. Ini terlihat pada buku-buku BSE untuk SMK. Tak seorang pun tahu kapan diadakan penilaian-penilaian terhadap buku-buku SMK, tahu-tahu sudah ada BSE untuk SMK di website milik Pusat Perbukuan (Pusbuk).

Perencanaan Kurang Matang
Untuk mengunduh BSE secara cuma-cuma, diperlukan jaringan internet. Harus diakui, ini merupakan langkah maju. Sayangnya, pemerintah tidak menyiapkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) maupun infrastruktur jaringan internet di seluruh Indonesia. Alih-alih mendapatkan buku secara cuma-cuma, masyarakat malah harus mengeluarkan biaya yang sangat tinggi untuk bisa mendapatkan buku yang diinginkannya.

Mematikan Iklim Berusaha
Sejak diberlakukan BSE, telah terjadi PHK besar-besaran di industri penerbitan tidak dapat dihindari. Telah banyak sekali karyawan penerbitan yang harus kehilangan pekerjaan karena pekerjaan mereka telah digantikan oleh pemerintah.

Distribusi Tidak Merata
Karena penetapan harga eceran tertinggi (HET) oleh pemerintah terhadap BSE versi cetak yang dinilai terlalu rendah, banyak pengganda enggan menyalurkannya  ke daerah yang terpencil. Alasannya jelas, biaya operasional tidak sesuai dengan margin karena HET terlalu rendah.
Spesifikasi Buku Tidak Sesuai

Akibat HET pula, kualitas buku menjadi menurun. Ini terbukti dengan ditemukannya buku-buku yang cetakannya tidak mendukung keterbacaan. Selain itu, banyak buku BSE yang dicetak dengan kertas yang tidak sesuai dengan ketetapan. Para pengganda bukannya tidak tahu sanksi yang akan didapat karena melanggar ketentuan yang telah ada, tetapi itu harus dilaksanakan untuk menekan biaya produksi.
Ketidaksinkronan Pemerintah Pusat dan Daerah

     Dalam pengadaan buku BSE tidak ada sinkronisasi antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Misalnya dalam pelaksanaan BOS maupun blockgrant. Dalam beragam kasus, ada sekolah yang mendapat bantuan buku-buku mata pelajaran tertentu dari pemerintah pusat. Kemudian dari pemerintah provinsi, sekolah tersebut juga mendapat buku pelajaran yang sama. Pemerintah kabupaten/kota menyarankan pemanfaatan dana bantuan untuk membeli buku yang sama. Akibatnya, di dalam satu sisi sekolah mendapat buku suatu mata pelajaran terlalu berlebih, di sisi yang lain buku mata pelajaran lain tidak ada. Ini kan ironis.

  Dari beberapa kasus di atas, tidak berlebihan jika kemudian datang spekulasi dari masyarakat bahwa BSE sepertinya hanya merupakan siasat pemerintah untuk keluar dari tanggung jawab pendanaan di sektor perbukuan. Kondisi ini pasti sangat mencemaskan karena pendidikan akan semakin sukar untuk dijangkau oleh semua lapisan masyarakat terutama masyarakat kecil. Tentu saja ini sangat kontraproduktif dengan kebijakan BSE itu sendiri pada khususnya dan penuntasan wajib belajar 12 tahun pada umumnya.

Menurut hemat penulis, jika kendala-kendala di atas dapat dihapus, bukan tidak mungkin kebijakan BSE menjadi sangat terkenal di mata masyarakat. Untuk itulah dibutuhkannya jalan keluar dari masalah ini demi memperbaiki kebijakan BSE di masa yang akan datang. Berikut ini beberapa pengeluaran masalahnya.

1. Penilaian setidaknya dilakukan seketat mungkin. Untuk satu mata pelajaran, dipilih 5 (lima) saja dari yang terbaik. Lima buku yang telah terpilih ini harus melalui proses revisi sebelum mendapatkan rekomendasi.
2. Sosialisasi penilaian dilakukan semaksimal  mungkin agar bisa didap`t lebih banyak lagi buku untuk diseleksi. Semakin banyak buku yang masuk, semakin ketat pula persaingan sehingga semakin berbobot.
3. Pemerintah menentukan HET yang rasional dengan melibatkan lembaga-lembaga terkait, misalnya PPGI, IKAPI, dan YLKI.
4. Hak pemasaran dikembalikan kepada penerbit pemilik naskah dengan kewajiban, penerbit tersebut harus mampu memasarkan ke seluruh Indonesia dengan HET yang telah ditetapkan.
5. Koordinasi antara pusat dan daerah berkaitan dengan proyek pengadaan buku diintensifkan. Untuk itu perlu data base penyediaan buku di seluruh Indonesia.

Penyediaan Buku Nonpelajaran
Kebijakan pemerintah dalam penyediaan buku nonpelajaran merupakan kebijakan yang sangat baik. Selain sangat akomodatif terhadap tujuan pendidikan, kebijakan ini juga menjadi penyulut bagi industri penerbitan untuk menggeliat lagi.

Kebijakan penyediaan buku nonpelajaran yang dilakukan pemerintah meliputi buku pengayaan, buku referensi, dan buku panduan pendidik. Mekanisme yang dilakukan pemerintah sudah cukup bagus, yaitu melalui proses seleksi oleh Pusbuk bekerja dengan Panitia Penilain Buku NontTeks Pelajaran (PPBNP).

Namun demikian, proses penilaian ini menjadi pertanyaan karena tidak ada dasar hukumnya. Permendiknas Nomor 2 Tahun 2008, secara eksplisit tidak menyebutkan bahwa buku nonpelajaran harus melalui proses penilaian.

Penyimpangan dalam proses penyediaan buku nonpelajaran sering terjadi pada tataran sekolah. Dalam Lampiran Permendiknas Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana Untuk Sekolah secara eksplisit disebutkan berapa jumlah buku yang harus diadakan oleh sekolah. Kenyataan di lapangan, sekolah sering menentukan sendiri buku yang disukai. Penyimpangan lain misalnya buku pengayaan. Seharusnya, buku pengayaan mencakup seluruh mata pelajaran. Kenyataannya, dalam pemilihan buku pengayaan, sekolah memilih buku-buku pengayaan tertentu sesuai keinginan sekolah. Akibatnya terjadi ketimpangan antar mata pelajaran.

Penyebab penyimpangan tersebut kemungkinan dipicu oleh dua faktor. Pertama, sekolah tidak mengetahui aturannya. Jika karena ini, pemerintah harus lebih intensif mensosialisasikan kebijakannya. Faktor kedua, karena adanya mafia proyek. Kalau ini yang terjadi, akibatnya bisa sangat kompleks.Dalam kasus ini, pemerintah harus tegas. Praktik-praktik mafia dalam pendidikan harus diberantas secara tuntas karena sangat membahayakan bagi dunia pendidikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar